Selasa, 23 Desember 2014

Manfaatkan Waktu Semaksimal Mungkin



Manfaatkan Waktu Semaksimal Mungkin
Oleh: Y. M. Bhikkhu Sikkhananda





Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
Penghormatan pada yang - Teragung, Layak Mendapatkan Penghormatan dari Semua Makhluk, Tercerahkan Secara Sempurna atas Usaha Sendiri.

Pernahkah anda merenungkan seberapa baik anda memanfaatkan waktu yang anda miliki?  Dapat dipastikan jawabannya adalah TIDAK. Sebagian besar manusia tidak pernah mempedulikan hal ini, dan mereka menganggap bahwa mereka telah menghabiskan waktunya dengan baik. Tetapi, bila jawaban anda YA, maka akan baik sekali bila anda melanjutkan membaca tulisan ini dan lihatlah apakah jawaban anda masih YA.
Setiap orang punya kegiatan masing-masing dan berusaha mengisi waktunya dengan sebaik mungkin. Tetapi jarang sekali yang benar-benar merenungkan seberapa baik mereka memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Mereka selalu mengatakan sibuk dan tak punya  waktu lagi, khususnya bila diajak melakukan hal yang baik. Namun demikian, bila mendapat ajakan untuk melakukan kegiatan yang disukainya, walaupun hal itu tidak banyak membawa manfaat atau bahkan tidak membawa manfaat sama sekali, maka dia akan mempunyai waktu untuk melakukannya.
Banyak para pelajar yang tidak mempunyai cukup waktu untuk belajar, tetapi tetap mempunyai waktu untuk melakukan hal yang tidak perlu dilakukan oleh seorang pelajar. Contohnya,  mereka tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan PR (pekerjaan rumah), untuk belajar kelompok, dan kegiatan yang bermanfaat lainnya (seperti pergi kebaktian, belajar Dhamma, dll., apalagi untuk meditasi).  Namun demikian, bila diajak pergi nonton film, ke diskotik, makan ke restoran, main kartu, atau bahkan untuk kumpul bersama teman-teman sambil menghabiskan waktu sambil berbicara yang tak ada manfaatnya (hanya nongkrong-nongkrong, kadang sambil bolos sekolah)  hampir dapat dipastikan mereka masih mempunyai waktu untuk melakukannya.
Bukan hanya para pelajar yang terserang penyakit ini, tetapi juga orang dewasa seperti para pekerja, ibu rumah tangga, dan bahkan para kepala keluarga. Banyak para pekerja yang bingung harus mengerjakan apa di saat jam kerja, maka mereka hanya menghabiskan waktu untuk baca koran, majalah, main komputer (menjelajah internet, main permainan komputer, nonton film, dll), bahkan ada yang tidur siang.  Banyak dari mereka hanya bekerja bila ada tugas dari atasannya. Yang lebih menyeramkan lagi adalah, banyak yang tidak berada di tempat kerja saat jam kerja dan bahkan tidak masuk kerja (banyak terjadi di lingkungan pemerintah).  Para ibu rumah tangga banyak menghabiskan waktunya untuk nonton sinetron, tele-novela, arisan, pergi ke salon, dan juga tidur siang.
Bila anda merenungkan hal ini baik-baik, maka akan terlihat bahwa semua kegiatan tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan betapa tebalnya faktor kebodohan mental (moha) dalam diri anda. Perlu anda semua ketahui, bila ada kebodohan, maka otomatis di sana juga biasanya ada keserakahan (lobha) dan kebencian/kemarahan/penolakan (dosa). Contoh: saat anda menonton sinetron, anda suka dengan jalan ceritanya atau pemeran sinetron tersebut, maka ada keinginan untuk melihatnya lagi, dan ini adalah manifestasi dari keserakahan (lobha). Sebaliknya, bila ada hal yang tidak anda sukai dalam sinetron tersebut, maka akan timbul kebencian/penolakan (dosa). Dengan demikian, anda hanya mengisi waktu anda untuk bermain dengan tiga akar kejahatan yaitu keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Mari tinjau kasus lain, yaitu kebiasaan tidur siang. Menurut dunia kedokteran, jumlah jam tidur yang baik adalah antara 7-8 jam per hari. Ini adalah waktu tidur malam hari, tetapi banyak juga yang menambahkannya selama 1-2 jam dengan melakukan tidur siang. Kalau boleh jujur, selama seseorang tidur, dia tidak melakukan hal yang bermanfaat apapun, karena baik jasmani maupun pikirannya tidak bekerja sama sekali (kecuali tidur untuk istirahat karena sakit). Dari sisi Dhamma, ini adalah manifestasi dari kemalasan (thina-middha) dan kebodohan (moha). 

Mari renungkan apakah tidur selama 7-8 jam itu tidak berlebihan. Biar lebih memudahkan perhitungan, akan digunakan 8 jam tidur. Menurut ajaran agama Buddha, umur rata-rata manusia saat ini adalah 75 tahun (karena tiap seratus tahun setelah Sang Buddha wafat, umur manusia berkurang satu tahun). Tetapi kenyataannya adalah bahkan lebih singkat lagi, karena sekarang banyak yang berumur 60-an atau lebih muda telah meninggal dunia. Jadi, dalam perhitungan ini akan digunakan usia 60 tahun sebagai usia rata-rata. Delapan jam sama dengan satu-per-tiga dari 1 hari, mungkin hal ini tidaklah begitu terasa signifikan. Tetapi, bila dikalikan dengan usia rata-rata, maka anda akan mendapati bahwa 20 tahun hanya dihabiskan untuk tidur. Apakah 20 tahun waktu yang singkat? Apa sekarang anda masih berpikir bahwa anda telah menghabiskan waktu yang sangat berharga ini dengan baik? Apakah sekarang anda masih berpikir untuk mempunyai tidur siang? Rasanya tidak perlu penjelasan lebih jauh, anda sudah bisa menjawabnya.

Namun demikian, biar lebih berkesan, renungkanlah hal ini juga. Bila rata-rata manusia berusia 60 tahun dan 20 tahun dihabiskan untuk tidur, bagaimana dengan 40 tahun sisanya? Sebagai manusia, biasanya seseorang sangat bergantung pada orang tuanya hingga umur 20an, bahkan banyak yang lebih. Sejak dari usia balita sampai sekolah ke perguruan tinggi, seorang anak selalu menggantungkan hidupnya pada orang tua. Bila mau jujur, selama itu, lebih banyak menyusahkan orang tua daripada membantunya. Maka setidaknya selama 40 tahun anda mengisi waktu anda dengan sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat bagi diri anda maupun orang lain. Anda bisa renungkan 20 tahun sisanya? Apakah pantas bila anda gunakan sisa 20 tahun tersebut hanya untuk tidur siang, nonton sinetron, dan hal lain yang tidak banyak membawa manfaat? Jangan lupa bahwa saat orang menjadi tua, kondisinya akan semakin melemah baik jasmani maupun mental; dan banyak yang tidak bisa bekerja lagi, bahkan menjadi seperti anak kecil yang harus dirawat oleh orang lain.




Sehubungan dengan hal ini ada cerita menarik dalam Dhammapada, syair 48, (IV (4) The Story of Patipujika Kumari).

Patipujika di kehidupan sebelumnya adalah seorang dewi, istri dari dewa Malabhari dari alam dewa tingkat ke-2 (Tāvatiṃsa). Suatu saat, beliau bersama 999 dewi lainnya pergi bersama dewa Malabhari ke taman bunga untuk bersenang-senang. Beliau bersama 499 dewi naik ke pohon bunga untuk memetik bunga dan 500 dewi lainnya berada di bawah pohon untuk mengumpulkan bunga dan memakaikannya kepada sang dewa. Saat beliau sedang memetik bunga, seketika itu juga beliau meninggal dan terlahir di sebuah keluarga di kota Sāvatthi di jaman Buddha Gotama.
Berkat kekuatan karma masa lampaunya, beliau mempunyai kekuatan untuk melihat kehidupan sebelumnya (jatissara). Berkat kekuatan inilah beliau dapat mengingat kehidupan sebelumnya sewaktu beliau menjadi salah satu istri dari dewa Malabhari, dan berharap untuk terlahir menjadi istri dewa tersebut kembali. Setelah beranjak dewasa, beliau menikah di usia 16 tahun dan dengan berjalannya waktu beliau mendapatkan 4 orang anak. Beliau menjadi umat yang rajin berdana, dan hampir setiap hari beliau berdana makanan ataupun berdana tenaga seperti membersihkan vihara, mengisi tempat-tempat air, menyiapkan/merapikan ruangan untuk para bhikkhu makan, dll. Selain itu beliau juga rajin mendengarkan Dhamma. Semua hal ini dilakukannya dengan tujuan agar beliau dapat terlahir kembali bersama dewa Malabhari. Karena beliau sangat memuja suaminya (dewa Malabhari) maka dia dikenal sebagai Patipujika (pati = suami).
Suatu hari beliau jatuh sakit dan meninggal pada hari yang sama. Berkat jasa kebajikannya, beliau terlahir kembali menjadi salah satu istri dari dewa Malabhari. Perlu diketahui, bahwa satu hari di alam dewa Tāvatimsa sama dengan 100 tahun di alam manusia. Oleh karena itu, sang dewa beserta istri yang lainnya saat Patipujika terlahir kembali di alam dewa tersebut masih berada di taman bunga. Karena untuk beberapa saat sang dewa tidak melihat Patipujika, maka beliau bertanya ke mana istrinya tersebut pergi. Sang dewi pun menceritakan kisahnya ketika beliau terlahir menjadi manusia.
Setelah sang dewa mendengar bahwa istrinya telah meninggal dan terlahir menjadi manusia, menikah di usia 16 tahun, dan mempunyai 4 orang anak, karena sakit beliau meninggal dan terlahir kembali menjadi istri sang dewa. Beliau terkejut karena hidup manusia begitu singkat (karena mereka masih bermain di taman bunga, belum ada 1 hari). Sang dewa pun bertanya lagi, “Bila manusia hidup begitu singkat, apakah mereka masih menghabiskan waktu untuk TIDUR dan TIDAK SUKA MENJAGA PERHATIANNYA? Apakah mereka suka berdana dan melakukan hal-hal yang mulia?”  Sang dewi pun menjawab, “Apa yang kau katakan suamiku? Bukan hanya suka tidur dan tidak pernah menjaga perhatiannya, tetapi mereka juga berpikir bagaikan umurnya tidak terbatas, bagaikan tidak ada yang terkena umur tua dan kematian.”  Sang dewa yang semakin terkejut mendengar jawaban dari istrinya, kemudian berkata “JIKA DEMIKIAN, KAPAN MEREKA AKAN TERBEBAS DARI PENDERITAAN?” Dari cerita ini, dapat disimpulkan bahwa tidaklah pantas bagi kita sebagai manusia yang umurnya relatif sangat singkat untuk hidup bermalas-malasan.
Setelah membaca dan mengetahuinya, marilah gunakan waktu yang ada semaksimal mungkin. Seperti anda semua ketahui, bahwa sangatlah jarang kemunculan seorang Buddha di dunia, sangatlah sulit menjadi manusia, sangatlah sulit untuk dapat bertahan hidup, dan sangatlah sulit untuk bertemu ajaran Buddha. Saat ini anda semua memiliki keempat-empatnya. Marilah gunakan kesempatan yang luar biasa ini untuk berlatih Dhamma dengan sungguh-sungguh.
Semoga renungan ini dapat memicu semangat anda dalam berlatih Dhamma. Semoga dengan semangat yang tinggi, anda dapat berlatih Dhamma (khususnya meditasi vipassanā) dengan baik.  Semoga dengan latihan yang baik, anda dapat mengalami kemajuan pandangan terang dan secepatnya merealisasi Dhamma Mulia (Nibbāna) dalam kehidupan ini juga. Sadhu! Sadhu! Sadhu!  

Salam mettā untuk semua,

U Sikkhānanda
Pusat Meditasi
Satipaṭṭhāna Indonesia
Bacom, Indonesia
26 Mei 2011

Referensi

Selasa, 25 November 2014

Nidhikanda Sutta



Nidhiṁ nidheti puriso, gambhīre odakantike
Atthe kicce samuppanne, atthāya me bhavissati

Rājato vā duruttassa, corato pīḷitassa vā
Iṇassa vā pamokkhāya, dubbhikkhe āpadāsu vā
Etadatthāya lokasmiṁ, nidhi nāma nidhīyati

Tāvassunihito santo, gambhīre odakantike
Na sabbo sabbadā eva, tassa taṁ upakappati

Nidhi vā ṭhānā cavati, saññā vāssa vimuyhati
Nāgā vā apanāmenti, yakkhā vāpi haranti naṁ

Appiyā vāpi dāyādā, uddharanti apassato
Yadā puññakkhayo hoti, sabbametaṁ vinassati

Yassa dānena sīlena, saṃyamena damena ca
Nidhī sunihito hoti, itthiyā purisassa vā

Cetiyamhi ca saṅghe vā, puggale atithīsu vā
Mātari pitari cāpi atho jeṭṭhamhi bhātari

Eso nidhi sunihito, ajeyyo anugāmiko
Pahāya gamanīyesu, etaṁ ādāya gacchati

Asādhāraṇamaññesaṁ, acorāharaṇo nidhi
Kayirātha dhīro puññāni, yo nidhi anugāmiko

Esa devamanussānaṁ, sabbakāmadado nidhi
Yaṁ yadevābhipatthenti, sabbametena labbhati

Suvaṇṇatā susaratā, susaṇṭhānā surūpatā
Ādhipaccaparivāro, sabbametena labbhati

Padesarajjaṃ issariyaṁ, cakkavattisukhaṁ piyaṁ
Devarajjampi dibbesu, sabbametena labbhati

Mānussikā ca sampatti, devaloke ca yā rati
Yā ca nibbānasampatti, sabbametena labbhati

Mittasampadamāgamma, yonisova payuñjato
Vijjā vimutti vasībhāvo, sabbametena labbhati

Paṭisambhidā vimokkhā ca, yā ca sāvakapāramī
Paccekabodhi buddhabhūmi, sabbametena labbhati

Evaṃ mahatthikā esā, yadidaṃ puññasampadā
Tasmā dhīrā pasaṁsanti, paṇḍitā katapuññatan'ti


Seseorang menyimpan hartanya
Dalam- dalam di lubang, di dasar sumur
Dia berpikir,’Jika muncul kebutuhan akan pertolongan
Harta ini akan ada di sana untuk menolongku di waktu itu.'

‘Untuk menebusku dari kemarahan raja,
Atau untuk uang tebusan bila aku ditahan sebagai sandera,
Atau untuk melunasi hutang bila keadaan sulit,
Menolongku di masa kelaparan, atau di musibah’.
Dengan alasan- alasan inilah, apa yang di dunia
Disebut harta akan disimpan.

Meskipun harta itu disimpan tidak pernah bisa sedemikian baik
Dalam- dalam di lubang. Di dasar sumur,
Sama sekali tidak akan mencukupi
Untuk melayaninya sepanjang waktu.

Jika simpanan itu berpindah dari tempatnya,
Atau dia lupa dengan tanda- tandanya,
Atau Naga- Naga mengambilnya pergi,
Atau Yakkha- Yakkha membuang- buangnya,

Atau mungkin, sanak keluarganya
Mencurinya sementara dia tidak menjaganya dengan baik,
Dan ketika buah kebaikannya telah habis,
Harta itu akan lenyap seluruhnya.

Tetapi bila seseorang perempuan maupun pria
Gemar berdana dan memiliki moralitas,
Atau dapat menahan nafsu indria serta memiliki pengendalian diri,
Inilah simpanan harta yang terbaik.

Harta tersebut dapat diperoleh dengan melakukan kebajikan,
Pada tempat ibadah atau Sangha
Atau pada seseorang atau pada para tamu
Atau pada ibu dan ayah, atau pada orang yang lebih tua,
                                                    



Simpanan harta ini adalah yang paling sempurna,
Yang tidak mungkin hilang,
Yang tidak mungkin ditinggalkan,
Ketika harus pergi dari dunia, dia pergi bersama simpanan ini

Tak ada mahluk lain yang dapat mengambil harta ini,
Dan para perampok tak dapat merampok simpanan ini,
Maka semoga teguh melakukan kebajikan,
Karena inilah simpanan yang paling baik.

Inilah simpanan yang sangat memuaskan
Yang menjadi keinginan para dewa dan manusia,
Tak peduli apa pun yang ingin mereka miliki,
Semua itu mereka peroleh melalui buah kebajikan yang disimpannya.

Wajah yang elok, suara merdu,
Tubuh yang indah, bentuk yang bagus,
Kekuasaan dan pengikut,
Semua itu diperoleh melalui buah kebajikan.

Kedaulatan dan kekuasaan raja kecil, atau kekaisaran,
Kebahagiaan Raja Cakkavatti (Raja Dunia),
Serta kekuasaan dewa di alam surga
Semua itu diperoleh melalui buah kebajikan.

Dan setiap kejayaan manusia,
Kegembiraan apa pun di alam surga,
Bahkan kesempurnaan Nibbana,
Semua itu diperoleh melalui buah kebajikan.

Seseorang memiliki sahabat- sahabat sejati,
Karena memiliki kebijaksanaan dan pandangan benar,
Memenangkan pengetahuan sejati dan pembebasan,
Semua itu diperoleh melalui buah kebajikan.

Memiliki pengetahuan untuk mencapai pembebasan,
mencapai kesempurnaan sebagai seorang siswa juga,
Mencapai kesempurnaan sebagai Pacceka Buddha atau Samma Sambuddha
Semua itu diperoleh melalui buah kebajikan.


 Thousands-of-candles-can-be-lighted-from-a-single-candle

Demikian besarnya hasil yang diperoleh,
Dari buah kebajikan ini,
Oleh karena itu maka yang teguh dalam sila dan yang bijaksana
Memuji penyimpanan buah kebajikan dan bertekad menyimpannya.


 
Selamat hari Kathina 2558 BE/2014
Semoga Semua Makhluk Berbahagia


Referensi
Sutta Pitaka, Khuddaka Nikaya, Khuddakapatha, Nidhikanda Sutta (Khp 8)


Referensi Gambar
http://www.ehipassiko.net/tentangkami.php (diakses 26 November 2014, 12:08)
http://lovelaughletgo.com/buddhadadbirthday/ (diakses 26 November 2014, 12:12)



Selasa, 30 September 2014

Cara Memendam Harta yang Terbaik



Serapi dan seaman apapun harta yang dipendam (memendamnya di dalam sumur) dengan tujuan untuk masa depan kehidupannya (tebusan, kemarahan raja, membayar hutang, sakit dll), tetap saja tidak bisa menjamin kebahagiaannya. Hartanya akan habis apabila: berpindah tempat, lupa meletakkannya, naga dan yakkha mengambilnya, dicuri oleh sanak keluarga, tidak dijaga dg baik, atau buah kamma baiknya telah habis.
Cara memendam harta yang terbaik : gemar berdana dan memiliki moral yang baik, dapat menahan nafsu serta mempunyai pengendalian diri. (Dānena sīlena saṃyamena damena ca).
Inilah "Harta" yang dipendam paling sempurna, tidak mungkin hilang, tidak mungkin ditinggalkan, walaupun suatu saat akan meninggal, ia tetap akan membawanya. Tak seorangpun yang dapat mengambil "Harta" itu, perampok-perampok pun tidak dapat merampasnya. Oleh karena itu, lakukanlah perbuatan-perbuatan bajik karena inilah "Harta" yang paling baik.

Buah dari kebajikan ini: Wajah cantik dan suara merdu, kemolekan dan kejelitaan, kekuasaan dan pengikut, kedaulatan dan kekuasaan kerajaan besar, kebahagiaan seorang raja Cakkavati, atau kekuasaan dewa di alam surga.

Kejayaan manusia, kebahagiaan surga, kesempurnaan Nibbana, memiliki sahabat-sahabat sejati, memiliki kebijaksanaan dan mencapai pembebasan, memiliki pengetahuan untuk mencapai pembebasan, mencapai kesempurnaan sebagai seorang siswa, menjadi Pacceka Buddha atau Samma Sambuddha.

Renungan II: Āditta Sutta (S. 1.31)

Ketika rumah terbakar, tempayan yang diselamatkanlah yang masih bermanfaat, bukan yang sudah terbakar.

Demikian pula, dunia ini terbakar oleh usia-tua dan kematian. Oleh karena itu, seseorang harus menyimpan kekayaannya dengan cara berdana. Apapun yang telah dipersembahkan, aman tersimpan.

Catatan:
Di Kehidupan-kehidupan sebelumnya, kita telah banyak bekerja dan mengumpulkan kekayaan.
Hanya kekayaan yang telah di ‘dirubah’ menjadi “kebajikan” lah yang masih mengikuti kita dengan terus menerus memberikan Āyu, vaṇṇa, sukha, bala (panjang umur, wajah menarik, kebahagiaan dan kekuatan).
Kekayaan yang tidak sempat ’dirubah’ menjadi “kebajikan” telah terbakar oleh ‘api kematian’ di kehidupan lampau.

Selasa, 29 Juli 2014

Membalas Jasa Orangtua

Membalas Jasa Orangtua
Oleh: Teddy Teguh Raharja

 Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa (3x)
 
Suatu ketika, Buddha bersabda: “Ada 2 orang yang sulit dibalas jasanya, yaitu ayah dan ibu.”

Seandainya seorang anak membalas jasa orangtuanya dengan cara memberikan perawatan dan pelayanan mewah kepada orangtuanya selama hidupnya. Itu belum cukup untuk membalas jasa orangtuanya.

Bahkan seandainya saja, seorang anak membalas jasa orangtuanya dengan cara mengangkat orangtuanya menjadi orang yang paling berkuasa di dunia. Itupun masih belum cukup untuk membalas jasa orangtuanya.


Mengapa demikian? Karena orangtua telah berbuat sangat banyak untuk kebaikan anak mereka. Orangtua telah membesarkan anaknya dengan cinta kasih, dan membimbingnya sehingga anaknya mampu mandiri dalam menjalani kehidupan ini.

(Saya kira, semua agama berpendapat sama dalam hal ini, perbedaannya, ada pada paragraf berikutnya)

Tetapi, jika seorang anak mampu menghilangkan sifat buruk orangtuanya, mampu meningkatkan kualitas moral, kebajikan dan kebijaksanaan orangtua. Maka orang itu telah membalas jasa orangtuanya, bahkan lebih.”


(ANGUTTARA NIKAYA, II, IV, 2)

Komentar
Sang Buddha telah mempraktikkan hal ini. Ayah beliau, yaitu Raja Sudhodana, dijadikan orang suci tingkat tertinggi (Arahat).

Ibu tiri Beliau, Ratu Mahapajapati, diterima menjadi Biksuni, dan dibimbing sampai mencapai tingkat kesucian tertinggi. 

Hebatnya, ibu kandung Beliau yang sudah wafat dan muncul sebagai dewa di alam lain, pun masih bisa diceramahi hingga akhirnya mencapai tingkat kesucian pertama. (Hal ini terjadi sewaktu Sang Buddha berkhotbah di alam Dewa Tavatimsa, surga tingkat II).

Referensi
Raharja, Teddy Teguh. Kumpulan Artikel Dhamma.

Referensi Gambar