Sangha Theravada
Indonesia
Pesan Waisak
2561/2017
Cinta Kasih
Penjaga Kebhinnekaan
Namo Tassa
Bhagavato Arahato
Sammasambuddhassa
Na paro param nikubbetha,
Natimannetha katthaci nam kanci
Byarosana patighasanna,
Nannamannassa dukkhamiccheyya
(Metta Sutta)
Tak sepatutnya yang satu menipu yang
lainnya,
tidak menghina siapapun dimana juga;
dan, tak selayaknya karena marah dan
benci mengharap yang lain celaka.
Hari Trisuci Waisak
memperingati tiga peristiwa suci yang terjadi dalam kehidupan Guru Agung Buddha
Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan
Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci
tersebut terjadi pada hari dan bulan yang sama, yaitu hari purnama raya, bulan
Waisak, dengan tahun yang berbeda – beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM
di Kapilavasthu, Nepal; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India;
dan Buddha Gotama mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India.
Hari Trisuci Waisak 2561 jatuh pada tanggal 11 Mei 2017. Seluruh umat Buddha di
dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman
Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan – kegiatan sosial budaya Buddhis.
Sangha Theravada Indonesia
mengangkat tema Trisuci Waisak 2561/2017: Cinta
Kasih Penjaga Kebhinnekaan. Tema itu sangat relevan untuk dihayati dalam
rangka menghadapi berbagai persoalan dewasa ini, yang berkaitan dengan masalah –
masalah kehidupan keluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Perbedaan
Bukan Penghalang
Perbedaan selalu
menjadi bagian dari dunia kehidupan sepanjang masa, baik perbedaan dalam
kehidupan rumah tangga, sosial masyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan
dalam kehidupan beragama dan kepercayaan. Perbedaan itu tidak dapat dihindari.
Hal terpenting adalah menerima perbedaan karena ini merupakan kebutuhan
bersama. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup dalam
persaudaraan dan persatuan. Persaudaraan retak disebabkan oleh perbedaan yang
ada dipermasalahkan. Sumber masalah itu sendiri bermula dari kepentingan
pribadi yang tidak bijak dan tidak terkendali. Dari sini, timbullah keserakahan
ingin mendominasi, dengan keangkuhan merasa paling benar, dan paling penting
diantara lainnya. Kemudian muncullah sikap eksklusif, yang pada akhirnya
berkembang menjadi pikiran benci dan permusuhan. Hal itulah yang membuat orang –
orang bertikai satu sama lain, saling menghina, saling mencaci maki, dan saling
menyakiti. Akibat yang ditimbulkan sungguh memprihatinkan. Dengan berkembangnya
pikiran marah, benci, dan permusuhan di sana sini, semua pihak pun sesungguhnya
telah dirugikan. Fitnah dilontarkan, rekayasa, adu – domba satu dengan yang
lainnya dilakukan, demi mengikuti hasrat diri sendiri, orang tertentu, ataupun
kepentingan kelompok untuk berkuasa. Seringkali, tanpa mengindahkan norma –
moral dan peraturan yang berlaku, hanya agar dirinya menang dalam sebuah
kompetisi atau pertarungan untuk mendapatkan kedudukan dan jabatan, seseorang
tidak segan – segan melakukan segala cara agar lawannya kalah. Padahal, selama
seseorang hanya berpikir menang dan kalah pasti ada orang yang kecewa dan
menderita
Sejak lama perbedaan
telah dijunjung tinggi oleh Mpu Tantular, pemuka agama Buddha yang hidup di abad
ke – 14 masa pemerintahan Raja Rajasanagara (Hayam Wuruk) di Kerajaan
Majapahit, Beliau adalah seorang pujangga Sastra Jawa yang begitu menghargai
perbedaan. Bahkan dalam buku Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular terdapat satu
syair yang memuat kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya berbeda – beda,
tetapi satu jua. Syair itu telah menjadi semboyan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Terbukti semboyan negara itu dapat memelihara keberagaman yang
terdapat pada Bangsa Indonesia selama tujuh puluh dua tahun hingga saat ini,
dan telah membuktikan kesaktiannya diakui dunia sebagai bangsa yang besar,
makmur, dan beradab.
Guru Agung Buddha
selalu melihat sisi keberagaman makhluk hidup sesuai dengan perbedaan karma dan
akibat karma setiap individu, serta menerima keberagaman siswa – siswi – Nya,
baik yang hidup sebagai petapa/bhikkhu maupun sebagai perumah tangga, tanpa
membedakan dari mana asal – usul kelahiran, suku, dan kepercayaan sebelumnya.
Guru Agung Buddha mendasarkan ajaran – Nya pada perbuatan; ia yang datang dari
keluarga terhormat, namun karena perbuatan buruknya, maka ia tercela akibat
keburukannya. Sebaliknya, meskipun ia datang dari keluarga penyapu jalan
(sudra), karena perbuatannya baik, maka ia layak dipuji oleh para bijaksanawan.
Cinta
Kasih sebagai Penjaga Kerukunan
Cinta kasih adalah suatu
kekuatan untuk memelihara dan menyatukan kita dalam keberagaman yang
sesungguhnya. Pikiran cinta kasih yang dikembangkan memiliki kekuatan magnetis
yang dapat mempengaruhi dan menarik simpati orang lain. Dengan cinta kasih
terciptalah kebahagiaan hidup, kehidupan menjadi lebih cerah, lebih luhur, di
samping pula memelihara kedamaian, bukan pertikaian satu dengan yang lainnya.
Cinta kasih merupakan suatu pengharapan kesejahteraan dan kedamaian secara
lahir maupun batin bagi semua bentuk kehidupan makhluk hidup, tanpa adanya
sekat apapun. Mereka yang batinnya penuh cinta kasih tenggelam dalam
persahabatan satu dengan lainnya, tanpa melihat dari mana asal – usul mereka
sebelumnya, mereka hidup dalam persaudaraan sebagai teman, bukan lawan. Cinta
kasih merupakan kekuatan mental yang aktif, setiap tindakan cinta kasih dilakukan
dengan pikiran untuk membantu, mengasihi, menghibur dan membuat orang lain
lebih tenteram.
Cinta kasih hendaknya
dikembangkan sebagai cara untuk mengatasi kebencian dan membuang kebencian.
Jika kebencian bersifat membatasi diri, cinta kasih justru sebaliknya, membebaskan
dan menyatukan segala perbedaan, cinta kasih menghasilkan kedamaian. Cinta
kasih melembutkan batin, menumbuhkan suasana persaudaraan, persatuan, dan
tentunya sikap gotong – royong. Gotong – royong merupakan budaya adiluhung yang
menumbuhkan toleransi dan kebersamaan.
Cinta kasih berpasangan
dengan welas asih, yaitu sifat luhur yang membuat orang mulia tergetar
nuraninya, merasakan penderitaan makhluk lain. Welas asih laksana seorang ibu
yang pikiran, ucapan, dan tindakannya hanya dicurahkan dan berkeinginan
menyingkirkan kesulitan serta penderitaan dalam kehidupan anaknya. Demikianlah,
kita hendaknya berpikir, berucap, dan bertindak untuk mengurangi derita orang
lain dan semua makhluk hidup.
Sikap batin bijaksana
juga perlu dikembangkan agar kita dapat mempertimbangkan sisi benar dan
salahnya suatu pandangan ataupun informasi yang beredar, dan memahami sisi baik
dan buruknya penyelesaian permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, kita
tidak mengalami kebingungan yang menjerumuskan, tidak mudah marah, benci dan
dengki, serta tidak sampai berpikir mengharap orang lain celaka. Orang
bijaksana yang selalu sadar dan waspada dalam batinnya, senantiasa dapat
mengendalikan pikiran, ucapan, dan tindakannya, serta menjadi teladan bagi yang
lainnya.
Marilah umat Buddha
sekalian, mengembangkan cinta kasih dan welas asih, disertai kebijaksanaan
dalam diri masing – masing. Penerapan cinta kasih, welas asih, dan
kebijaksanaan dapat menjaga kerukunan dalam keragaman, serta menerima perbedaan
yang ada di dunia tanpa adanya perselisihan sehingga dapat menghindarkan diri
dari segala tindakan kekerasan yang mengakibatkan kehancuran bagi semua.
Terpeliharanya kerukunan di tengah – tengah keragaman dan terciptanya
kepedulian antar sesama, dapat mewujudkan keutuhan. Hal ini sejalan dengan ide
yang digagas oleh Bapak Presiden Joko Widodo yakni membentuk Dewan Kerukunan
Nasional untuk mengedepankan musyawarah dalam mengatasi masalah, demi terwujudnya
penyelesaian masalah kehidupan dalam berbangsa dan bernegara sehingga sesuai
cita – cita luhur dan harapan kita semua.
Selamat Hari Trisuci Waisak 2561/2017.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu
melindungi.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Tangerang Selatan, 11 Mei 2017
Sangha Theravada Indonesia
Bhikkhu Subhapanno, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka