Kamis, 22 Mei 2014

Renungan Tri Suci Waisak 2558 T.B. : 15 Mei 2014



Renungan Tri Suci Wesak 2558: 15 Mei 2014
Sang Buddha Manusia Tiga C
Cakap, Cakep, Cukup --- dan tidak --- Cacat
 oleh Y.M. Bhikkhu Dhammasubho Mahathera




Dahulu, kata “cacat” masih sering diperdengarkan. Orang, meng-idam-idamkan bisa memiliki harga diri tidak cacat, bersih tanpa noda, dan berwibawa. Oleh karena bila cacat, jatuh harga dirinya. Malu..!

Tiga Jenis Cacat
Kita Sepakat. Tentang arti dari sebuah kata “cacat”. Apapun bila cacat, jatuh harganya. Terdapat tiga jenis cacat dalam kehidupan manusia, yaitu: cacat sosial, cacat moral, dan cacat spiritual.

Cacat sosial,
Misalnya, pinjam sesuatu tidak mau mengembalikan kepada pemiliknya. Hutang tidak mau membayar hutangnya. Janji-janji tidak ditepati. Dengan mudah lingkungan memberi predikat kepadanya, “cacat sosial”. Pesannya “hati-hati” sama dia, “Dia itu, aktivitas sosialnya tidak baik, ucapannya lain dengan tindakannya …!”

Cacat moral,
Kamus bahasa barat menyebut “moral—morality”. Akan tetapi asal aslinya bahasa (Pali) adalah “Sila”. Dalam bahasa Pali, arti sebuah kata “sila” atau “moral”, yaitu; “tidak membunuh; tidak mencuri; tidak bertindak asusila; tidak berbohong; tidak mabuk-mabukan” (Pancasila Buddhis). Dalam istilah indah Javanology “mo limo atau lima M”, yaitu; Madad (minum opium – narkoba, mabuk-mabukan); Madon – mempermainkan perempuan; Main – berjudi; Maling – pencuri; Memateni – pembunuh.

Cacat spiritual,
Berkaitan dengan nilai hidup. Bagi yang nilai hidupnya tinggi, bersih tanpa noda, tidak cacat. Ia, akan meninggal dengan tenang. Beda dengan yang nilai hidupnya rendah, raportnya merah, rata-rata saat meninggalnya susah.

Mati tersiksa, atau terpaksa disiksa,  harus mati terbunuh musuh. Atau mati hilang secara misteri.
Sepanjang sejarah peradaban, hidup bersih, tanpa noda, dan tidak cacat, dipuja-puja keberadaannya. Selalu kehadirannya ditunggu-tunggu. Nasehatnya didengar, petunjuknya diikuti, perilakunya ditiru. Diidam-idamkan bisa menjadi penganyom, pengayem umat, sebagai pemimpin rakyat yang bijak bestari dan menenteramkan.

Terpuji
Terbaik, Pertama, dan Terpuji. Yang “pertama belum tentu terbaik”. Akan tetapi yang “terbaik, pasti pertama terpuji”.

Banyak sekali orang, mau dirinya menjadi yang “pertama dipuji”. Akan tetapi, sedikit sekali orang, mau berbuat yang “terbaik” hingga dirinya “terpuji”. Justru karena tindak-tanduknya tidak baik, sulit bisa dipuji.

  • Bagi orang tidak cacat, bersih tanpa noda, kapan saja dan di mana saja, dirinya menjadi yang terbaik, dan pertama terpuji. Patut, dan pantas menjadi contoh suri tauladan dalam hal kebajikan dan menenteramkan.
  • Sesuatu yang dinyatakan baik, bersih tanpa noda, nilai hidupnya tidak cacat, dan menenteramkan, ukurannya adalah “kebajikan”. Mengukur “kebajikan” lain dengan mengukur kepintaran, beda dengan mengukur kemenangan, kekayaan, pangkat dan kedudukan. Bodoh-pintar – ukuran pendidikan. Menang-kalah – ukuran politik dan kekuasaan. Untung-rugi – ukuran berdagang.
  • Ukuran – kebajikan adalah sesuatu itu, (seseorang juga maksudnya), adalah apabila; tidak cacat sosial, tidak cacat moral, dan tidak cacat spiritual.


  •  Untuk itu, di dunia ini, sosok pintar terpelajar, berpangkat dan berkedudukan. Akan tetapi, bila hidupnya tidak cukup kebajikan keberadaannya menjadi monster-monster yang amat menakutkan, dan tindak-tanduknya menjadi penyebab kehancuran masyarakat, bangsa, negara, dan agama.


Tri Suci Waisak
Kamis, 15 Mei 2014, umat Buddha memperingati hari Raya Tri Suci Waisak 2558 T.B. (Tahun Buddhis). Mengenang kembali tiga peristiwa penting yang terjadi pada bulan Waisak. Yang pertama, Kelahiran Pangeran Siddharta di taman Lumbini 623 SM.; kedua, Pertapa Siddharta mencapai penerangan sempurna menjadi Buddha, di bawah pohon Bodhi kota Bodh Gaya 588 SM., dan ketiga, Buddha Gotama wafat di Kusinagara 543 SM.

Sesaat setelah Siddharta lahir, kepada raja Sudhodana – ayahnya, ahli nujum Petapa Asita meramal dua hal; pertama, jika Siddharta memilih jalan hidupnya menjadi raja, ia hanya seorang “penjaga istana”, dan kedua, jika Siddharta memilih jalan hidupnya menjadi pertapa dan mencapai Buddha, ia adalah seorang “pemimpin besar dunia yang cakap, cakep, cukup.”

  • ·   Raja Sudhodana menolak anaknya hidup bertapa dan menjadi Buddha. Tetapi bertanya kepada Asita,
  • “… Asita, apakah ada cara menghindarinya, agar Siddharta tidak menjadi pertapa mencapai Buddha?”

  • Dengan jelas dan tegas Asita menjawab: “Ada…!”

  • Jika Siddharta tidak melihat empat kejadian alam, yaitu; tidak melihat orang tua, tidak melihat orang sakit, tidak melihat orang mati, dan tidak melihat orang yang menjadi pertapa.

 

Atas dasar jawaban tersebut, oleh raja Sudhodana, Pangeran Siddharta dipingit di dalam tembok istana dengan segala kemewahan duniawi. Usia enam belas (16) tahun dinikahkan dengan Dewi Yasodara. Semacam perkawinan secara politik demi kepentingan seorang raja, selayaknya kepala negara guna melanggengkan kekuasaannya.
 
Pada usia 29 tahun. Siddharta bertekad bulat memilih jalan meninggalkan keduniawian, hidup bertapa. Setelah bertapa selama 6 tahun, tepat pada purnama bulan Waisak Siddharta menjadi Buddha mencapai penerangan Sempurna – sempurna pengetahuannya – sebagai seorang terpelajar, tidak buta aksara, sempurna tindak-tanduknya – tidak cacat sosial, tidak cacat moral, dan tidak cacat spiritual (berarti) – sempurna kematiannya.


Pada usia 80 tahun. Buddha Gotama wafat. Meninggal dunia dengan tenang, tidak mati dikejar-kejar lawan, tidak secara tersiksa dan terpaksa disiksa, harus mati dibunuh musuh, juga tidak mati hilang secara misteri. Buddha Gotama meninggal dunia dengan tenang. Hingga kini, tempat-tempat peninggalan Buddha menjadi saksi sejarah, dikunjungi ribuan orang setiap harinya. 

 

Sebagai pemimpin jagad kelas dunia, hingga akhir hayat Buddha Gotama tetap pada prinsipnya yang tegas, sikap tidak keras, swadesi – kesederhanaan, dan ahimsa – anti kekerasan.
Kepada para pengikut, memberikan kebebasan berpikir, menggunakan akal sehat dalam menentukan pilihan jalan hidup menjadi pegangan. Hidup adalah opsi (pilihan), karena itu ada sisi konsekuensi (tanggung jawab) dan sisi kompensasi (buah dari perbuatan). Diri sendiri adalah penentu bagi diri sendiri, pihak-pihak lain hanya pendukung, sama sekali bukan penjamin.

Bagi yang mau mengerti benar pernyataan itu, ketika terjadi sesuatu yang buruk pun pada diri, tidak mencari pihak lain untuk disalahkan. Karena sadar bahwa kejadian, merupakan buah dari pilihan sendiri. Dengan demikian, pekerjaan Tuhan pun menjadi ringan, Tuhan tidak direpotkan oleh ulah manusia yang tahu diri.
Hingga kini, pesan moral itu tadi, masih bisa menjadi pedoman bagi murid dalam memilih guru, bagi rakyat memilih pemimpin. Meskipun dalam situasi sulit serba tidak menentu, sementara banyak orang bingung ketika akan memilih guru sebagai panutan, rakyat memilih pemimpin untuk menjadi pengayom dan pengayem.
Bila dengan sadar mempunyai pengertian benar, sesungguhnya telah ada dengan pasti ukuran memilihnya. Memilih guru, memilih calon pemimpin yang bersih dari cacat sosial, cacat moral, dan cacat spiritual. Sosok yang Pinter, Bener, Kober. “Kejujuran Dasar Keteladanan. Keteladanan Dasar Kemuliaan, dan Kerukunan Dasar Keutuhan”.

Karena itu, pastikan ketika akan memilih calon guru dan calon pemimpin. Selain memilih yang bersih tanpa noda, tidak cacat sosial, tidak cacat moral, tidak cacat spiritual. Satu lagi hal, pilih yang cakap, cakep, cukup.

Cakap, Cakep, Cukup
Ada istilah dalam pepatah indah. “… Sepandai-pandainya tupai meloncat, toh jatuh juga”. Jadi, jangan heran sejelek-jeleknya dari yang terjelek pun, tetap ada pengagum, pemilih dan pendukungnya.
Secara hukum Dhamma merinci jenis cacat dan jelek. Sebaliknya yang baik dan terpuji disebutkan dengan istilah indah; cakap, cakep, cukup. Buddha Gotama oleh dunia dinyatakan sebagai manusia yang telah terbukti, teruji dan terpuji cakap, cakep, cukup. Cakap, berarti pandai, terpelajar, tidak buta huruf. Cakep, artinya handsome, ganteng, berwajah tampan. Endang – enak dipandang, ada gambarnya. Cukup, artinya berkecukupan, kaya raya tidak miskin, tidak peminta-minta.

Menurut Dhamma “kaya” dan “miskin” dirinci secara pasti, yaitu: kaya-miskin materi, ilmu dan kebajikan. Sementara ada seseorang kaya harta materi, tetapi miskin ilmu, maka sering menjadi korban penipuan. Yang lain, kaya raya akan harta materi dan ilmu, tetapi miskin kebajikan. Maka tindakannya syarat dengan kejahatan, keji kejam dan menghancurkan.

Jika seseorang benar-benar kaya harta materi, kaya ilmu pengetahuan dan kaya kebajikan;

  • Hidupnya wajar, tidak tunduk pada pandangan keliru, tidak menganut ajaran takhayul yang menyesatkan.

  • Memiliki kepedulian. Tidak membuat diri bahagia di atas penderitaan orang lain.

  • Menyatakan diri baik, tidak dengan mengatakan yang lain jelek.

  • Menyatakan diri benar, tidak dengan fatwa-fatwa yang lain salah.

Setidaknya “miraga, mirama, dan mirasa.”

Miraga, adalah terpuji secara ragawi, yang kasat mata indah. Mirama, adalah terpuji dalam bergerak-gerik badan sopan santun. Mirasa, adalah terpuji secara cita-rasa. Merasuk ke dalam cipta budi karsa dan rasa. Semakin halus seseorang bercita-rasa, semakin mendalam falsafahnya “Sabdo Pandito Ratu”.

Adalah tidak hanya “merasa bisa” tetapi “bisa merasa”. Terhadap sesuatu, tidak hanya “yang penting berbicara” tetapi “yang penting-penting berbicara”.  

Kata Buddha “Hiri” dan “Ottapa”

  • Dunia, negara, bangsa dan agama damai oleh orang-orang “Hiri – malu berbuat jahat” dan “Ottapa – takut akibatnya”.

  • Orang-orang menjadi aman dan damai, bukan dengan “pagar kawat berduri”. Tetapi dengan “pagar hati” yang membuat seseorang takut dengan dirinya sendiri.

  • Orang-orang yang tahu malu, tahu diri, dan mau membuat pagar hati, adalah menjadi bersih, tidak cacat hidupnya.

  • Kalaupun menjadi orang miskin – tidak melawan orang kaya, kalaupun menjadi orang kaya – tidak melawan penguasa, kalaupun menjadi penguasa – tidak merusak negara, tidak merusak agama, tidak merusak alam semesta.

Kata-kata Buddha dua ribu enam ratus (2.600) tahun yang lampau itu, masih bisa menjadi inspirasi dalam upaya menciptakan “alam damai” di abad modern masa kini. Bisa menjadi pedoman bagi murid memilih guru, buat rakyat memilih calon pemimpinnya. Memilih yang bersih dari cacat sosial, cacat moral, cacat spiritual. Yang cakap, cakep, cukup, dan yang anti kekerasan, dan menenteramkan.

Selamat merayakan
Hari Raya Tri Suci Waisak 2558 T.B. / 2014
Semoga semua makhluk berbahagia.

Referensi Gambar
tanyajawabdhamma.blogspot.com/2010_06_01_archive.html (diakses 22 Mei 2014, 23.45)